Sabtu, 15 Januari 2011

Pengertian Ilmu Yang Bermanfaat

Sabtu, 29 Desember 2007 09:45:48 WIB

PENGERTIAN ILMU YANG BERMANFAAT


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Di dalam Al-Qur-an terkadang Allah Ta’ala menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, yaitu ilmu yang bermanfaat. Dan terkadang Dia menyebutkan ilmu pada kedudukan yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat.

Adapun yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,

“... Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’...” [Az-Zumar: 9]

Firman Allah Ta’ala,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]

Firman Allah Ta’ala.

“... Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” [Thaahaa: 114]

Firman Allah Ta’ala.

“... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]

Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam dan pelajaran yang didapatkannya dari Allah tentang nama-nama segala sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun berkata,

"Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” [Al-Baqarah: 32]

Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya,

"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” [Al-Kahfi: 66]

Ini semua adalah ilmu yang bermanfaat.

Dan terkadang Allah Ta’ala mengabarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak bermanfaat. Ini adalah ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya, namun pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala berfirman,

"Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [Al-Jumu’ah: 5]

Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,

"... Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [Al-Baqarah: 102]

Dan firman Allah Ta’ala,

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]

Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu menjadi ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, juga menganjurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [2]

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal.

Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.

Kedua, mengetahui segala apa yang diridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]

Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.” [4]

Perkataan beliau rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [5]

Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.” [6]

Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [7]

Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan,

Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan,
kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.

Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.

Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan. [8]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [9]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.

Di antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.

Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.

Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaatkannya.

Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”

Ath-Thibi berkata, “Manusia terbagi menjadi dua".

Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.

Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”

Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatannya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya.

Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” [10]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 11-13), karya Imam Ibnu Rajab rahimahullaah, ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, cet. I, Daar ‘Ammar, th. 1406 H.
[2]. Majmuu’ al-Fataawaa (VI/388, XIII/136) dan Madaarijus Saalikiin (II/488)
[3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 47).
[4]. Al-Bidaayah wan Nihaayah (V/237).
[5]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/769, no. 1421) dan Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 42).
[7]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).
[8]. Diiwaan Imam asy-Syafi’i (hal. 388, no. 206), dikumpulkan dan disyarah oleh Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.
[10]. Lihat Fat-hul Baari (I/177).

Minggu, 02 Januari 2011

SUNNAH - SUNNAH DALAM SHOLAT MALAM

Sunnah-Sunnah Dalam Shalat Malam

Kamis, 26 April 2007 09:57:29 WIB SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT MALAM Oleh Syaikh Khalid al Husainan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. ÃóÝúÖóáõ ÇáÕøöíóÇãö ÈóÚúÏó ÑóãóÖóÇäó ÔóåúÑõ Çááåö ÇáÍóÑóÇãõ æó ÃóÝúÖóáõ ÇáÕøóáÇóÉö ÈóÚúÏó ÇáÝóÑöíúÖóÉö ÕóáÇóÉõ Çááøóíúáö “Artinya : Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163] [a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail adalah sebelas raka’at atau tiga belas raka’at dengan pengerjaan shalat yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ßóÇäó íõÕóáøöí ÅöÍúÏóì ÚóÔúÑóÉó ÑóßóÚóÉð ßóÇäóÊú Êöáúßó ÕóáÇóÊõåõ “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’at, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147] Riwayat yang lain menyebutkan. íõÕóáøöíó ÈöÇááøóíúáö ËóáÇóËó ÚóÔúÑóÉó ÑóßúÚóÉð ... “Artinya : Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764] [b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak dan membaca ayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah Åöäøó Ýöí ÎóáúÞö ÇáÓøóãóæóÇÊö æóÇáúÃóÑúÖö æóÇÎúÊöáóÇÝö Çááøóíúáö æóÇáäøóåóÇÑö áóÂíóÇÊò áöÃõæáöí ÇáúÃóáúÈóÇÈö “Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumu dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190] Dibaca sampai akhir surat [c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat malam untuk berdoa dengan doa yang shahih yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Çááøóåõãøó áóßó ÇáÍóãúÏõ ¡ ÃóäúÊó Þóíøöãõ ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æó ÇáÃóÑúÖö æó ãóäú Ýöíúåöäøó ¡ æó áóßó ÇáÍóãúÏõ ¡ áóßó Çáãõáúßõ ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æó ÇáÃóÑúÖö æóãóäú Ýöíúåöäøó æó áóßó ÇáÍóãúÏõ ¡ äõæúÑõ ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æó ÇáÃóÑúÖö ¡ æóáóßó ÇáÍóãúÏõ ¡ ÃóäúÊó ÇáÍóÞøõ ¡ æó æóÚúÏõßó ÇáÍóÞøõ ¡ æó áöÞóÇÄõßó ÍóÞøñ ¡ æó Þóæúáõßó ÍóÞøñ ¡ æó ÇáÌóäøóÉõ ÍóÞøñ ¡ æó ÇáäøóÇÑõ ÍóÞøñ ¡ æó ÇáäøóÈöíøõæúäó ÍóÞøñ ¡ æó ãõÍóãøóÏñ ÍóÞøñ ¡ Çááøóåõãøó áóßó ÃóÓúáóãúÊõ ¡ æóÈößó ÂãóäúÊõ ¡ æó Úóáóíúßó ÊóæóßøóáúÊõ ¡ æó Åöáóíúßó ÃóäóÈúÊõ ¡ æó Èößó ÎóÇÕóãúÊõ ¡ æó Åöáóíúßó ÍóÇßóãúÊõ ¡ ÝóÇÛúÝöÑúáöí ãóÇ ÞóÏøóãúÊõ æó ÃóÎøóÑúÊõ ¡ æó ãóÇ ÃóÓúÑóÑúÊõ æó ãóÇ ÃóÚúáóäúÊõ ¡ ÃóäúÊó ÇáãõÞóÏøöãõ ¡ æó ÃóäúÊó ÇáãõÄóÎøöÑõ ¡ áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó ÃóäúÊó ¡ Ãóæú ¡ áÇó Åöáóåó ÛóíúÑõßó “Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu), kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717] [d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at yang ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat yang pendek tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ÅöÐóÇ ÞóÇãó ÃóÍóÏõßõãú ãöäó Çááøóíúáö ÝóáúíóÝúÊóÊöÍú ÕóáÇóÊóåõ ÈöÑóßúÚóÊóíúäö ÎóÝöíúÝóÊóíúäö “Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat dua raka’at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent) [Hadits Riwayat. Muslim no. 768] [e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Çááøóåõãøó ÑóÈøó ÌóÈúÑóÇÆöíúáó æó ãöíúßóÇÆöíúáó æó ÅöÓúÑóÇÝöíúáó ¡ ÝóÇØöÑó ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æó ÇáÃóÑúÖö ¡ ÚóÇáöãó ÇáÛóíúÈö æó ÇáÔøóåóÇÏóÉö ¡ ÃóäúÊó ÊóÍúßõãõ Èóíúäó ÚöÈóÇÏößó ÝöíúãóÇ ßóÇäõæúÇ Ýöíúåö íóÎúÊóáöÝõæúäó ¡ÅöåúÏöäöí áöãóÇ ÇÎúÊõáöÝó Ýöíúåö ãöäó ÇáÍóÞøö ÈöÅöÐúäößó Åöäøóßó ÊóåúÏöí ãóäú ÊóÔóÇÁõ Åöáóì ÕöÑóÇØò ãõÓúÊóÞöíúãò “Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357] [f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam. Ãóíøõ ÇáÕøóáÇóÉö ÃóÝúÖóáõ ¿ ÞÇóáó : Øõæúáõ ÇáÞõäõæúÊö Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim no.756] Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama [g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayat tentang adzab dengan ucapan: ÃóÚõæúÐõ ÈöÇááåö ãöäú ÚóÐóÇÈö Çááåö “Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah” Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan Çááøåõãøó Åöäøöí ÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÝóÖúáößó “Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu” Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian Allah. Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ...íóÞúÑóÃõ ãõÊóÑóÓøöáÇð ÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÂíóÉò ÝöíúåÇó ÊóÓúÈöíúÍñ ÓóÈøóÍó ¡ æó ÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÓõæúÁÇóáò ÓóÃóáó ¡ æó ÅöÐóÇ ãóÑøó ÈöÊóÚóæøõÐö ÊóÚóæøóÐó... “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan(tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits Riwyat. Muslim no. 772] Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam [a]. Berdoa [b]. Menjauh kan (diri) dari begadang [c]. Tidur di siang harinya [d]. Meninggalkan kemaksiyatan [e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan] _________ Foote Note [1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri, tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.