Sabtu, 20 November 2010

SHOLAT BAGI ORANG SAKIT.,.,.,,.

TATA CARA SHOLAT BAGI ORANG SAKIT
Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagi berikut :
a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman :

" …………..Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu" [al-Baqarah/ 2:238]


Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran" [HR Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.[7]


Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia”.[8]


b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud , ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.[9]


c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah berijmâ’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.[10]


d. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk [11]. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [al-Baqarah/ 2:185]


Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”.[12]


Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:


رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan bersila" [13]

Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy.[14]


Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.[15]


Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki" [Muttafaqun ‘Alaihi]

Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.[16]


e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu 'anhu :


صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah" [HR al-Bukhâri no. 1117]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396]

Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya , sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

1). Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila rukû’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
2). Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
3). Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman :

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]


f. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.[17]


g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [al-Baqarah/ 2:286]


h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu" [at-Taghâbun/ 64:16]


i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.


j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.[18]


k. Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadîts Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau q pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu" [19]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar